Minggu, 13 Agustus 2017

Mungkinkah Pola Mereka Akan Bertahan 100 Tahun Lagi ?

Suku Laut Tajur Biru, Kabupaten Lingga (doc)


Catatan Kecilku

Nilai budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat, memiliki kekayaan yang begitu besar nilainya. Akan tetapi seiring perkembangan zaman upaya pelstariannyapun mulai luntur, bisa jadi dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun faktor internal masyarakat itu sendiri.

Pelestarian merupakan proses atau tehnik yang didasarkan pada kebutuhan individu itu sendiri. Kelestarian tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya penopang. Oleh karena itu harus dikembangkan pula, dengan apa caranya karena melestarikan suatu kebudayaan pun dengan cara mendalami atau paling tidak mengetahui tentang budaya itu sendiri.

Dengan keadaaan yang kita alami sekarang ini. Kita disudutkan dengan situasi dilema yang begitu besar. Bagaimana tidak, semakin lajunya arus kemajuan perkembangan dunia. Melaju pula arus peradaban negeri ini. Hingga mengharuskan kita berusaha mengubah pola yang dulu pernah kita lakukan dan beralih kepada pola baru yang kita dapat. Ya Akulturasi kebudayaan, sama persis bisa menghilangkan kebudayaan asli. Peradaban dan tradisi semakin tercecer tergerus.

Terkhusus di Riau Kepulauan. Di Kabupaten Lingga sendiri pergeseran itu perlahan - lahan mulai tampak pada peradaban suku laut. Situasi ini yang paling mudah kita jumpai. Bisa kita bandingkan dengan pola hidup berdasarkan cerita orang-orang tua bagaimana suku laut itu. Namun sayangnya pola itu mulai luntur.

Suku laut Tajur Biru, Kabupaten Lingga (doc)

Mungkin 10 tahun yang lalu, pola hidup bersampan orang suku laut sangat mudah dijumpai. Ratusan pulau di Kabupaten Lingga pernah mereka jejaki hanya dengan kebiasaan hidup nomaden. Mereka tidak perlu mewah, cukup dengan hasil pencarian hari ini, cukup pula buat makan sehari. Namun mereka bisa membentuk kekompakan dan sikap kekeluargaan dirasakan satu dan yang lain. Bisa kita lihat saat mereka hidup dalam kelompok-kelompok.

Semakin maju kedepan, berbagai program penyetaraan layak hidup mulai menjangkau sampai ke pelosok negeri. Termasuk suku laut di Lingga. Progam Suku Adat Terpencil (KAT) dari pemerintah mulai merambah sedikit demi sedikit bagaimana itu kemajuan peradaban. Pola hidup lama orang laut semakin terkikis. Mereka sudah mengenal apa itu milenium.

Hidup nomaden yaang sekian abad dilakuan mulai punah, sulit dijumpai. Hidup berburu untuk makan sehari mulai hilang. Mungkin kekompakan pada diri merekapun bila digali pasti memudar.

Zaman ini, mereka sudah mengenal beragam kemajuan zaman. Mereka sudah tahu rumah tetap didaratan, bukan lagi sampan. Mereka tidak lagi memakai atribut khas mereka, sebab mereka sudah mengenal beragam barang baru bahkan peralatan elektronik canggih. Sayangnya lagi terlebih bahasa suku, yang hanya sedikit sekali dijumpai yang bisa menggunakannya lagi.

Mereka layak dijadikan manusia peradaban ini. Mereka layak hidup dengan kesetaraan karena bagaimanapun hal tersebut telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28 A sampai J tentang Hak Asasi Manusia. Salah satu hak diakui sebagai warga negara dan hak pendidikan yang merupakan suatu proses yang harus mereka jumpai dan mereka tempuhi sebagai warga negara.

Perbandingan yang sangat drastis bukan. Sebab kita bisa melihat itu sekitar beberapa tahun belakangan namun belum seperempat abad hal itu mulai langka. Mungkin 10, 20 atau 30 tahun lagi, kebudayaan dan pola hidup nomaden sang pengembara laut akan benar-benar langka bahkan hilang disapu gelombang perkembangan zaman ???

Anak-anak suku Laut Tajur Biru, Kabupaten Lingga (doc)

Lantas siapakan yang salah dalam hal ini ?

Pemerintahkah yang salah karena terlalu cepat dengan kemajuan dan mendoktrin kemajuan itu kepada mereka ??? Ataukah kita yang ingin mereka tetap bertahan dengan pola hidup mereka karena merupakan suatu kekayaan Bumi Bunda Tanah Melayu ??

Mungkin kita yang hidup di zaman milenium ini akan bertanya hal itu. Tapi bagaimana dengan pola penyetaraan hidup setiap warga negara ??

Satu sisi kita memang tidak mungkin membiarkan ini menjadi sejarah. Satu sisi kita juga tidak bisa membiarkan mereka hidup dengan ketertinggalan. Dengan kata setiap kehidupan pasti mengenal sejarah. Namun siapakah yang mampu menjadi penopang untuk mempertahankan budaya mereka, akulturasi dan kemajuan ini.

Pemerintah memang benar dengan kesetaraan hidup warga negara. Masyarakat memang benar dengan kesinambungan hidup. Aktivis memang benar dengan upaya memperhatikan dan mengajak kearah lebih maju. Dan mereka (suku laut) memang benar, jika bertahan tertinggal dan jika ikut, mereka meninggalkan ciri mereka sendiri.

Dilema, itu yang saat ini kita rasakan. Tidak ada yang salah, hanya saja kita butuh cara bagaimana menjalankan dua hal ini tanpa ada yang hilang dan dikorbankan. Upaya apa saja yang bisa dilakukan oleh kaum generasi muda saat ini terutama dalam melestarikan dan menjaga eksistensi nilai budaya itu agar tidak luntur ? Ini masih jadi tanda tanya. (Arpa)

Rabu, 02 Agustus 2017

Buah Bungkat, Hingga Timbul Sumpah



"Kami Para Lanun bersumpah tidak akan datang lagi ke Kampung ini untuk merompak," begitu ungkap Lanun yang seketika kalah dalam pertikaian dengan Batin Mabot, berdasarkan cerita rakyat setempat dalam tulisan Drs. Abdul Razak M.Pd, putra asli desa Sungai Pinang.

Sungai Pinang, sebuah wilayah  administratif berbentuk desa yang telah ada sejak sebelum Lingga dijadikan Kabupaten atau masih dibawah pemerintahan Kabupaten Kepulauan Riau. Nama Sungai Pinang juga sudah termaktub dalam lisan sejak era Kerajaan Riau Lingga dimana menurut cerita rakyat kondisi sungai menuju perkampungan ini dihiasi dengan jejeran tumbuhan pinang.

Sebuah desa di bagian timur pulau Lingga ini, kini telah menjadi pusat pemerintahan sebuah kecamatan yakni Kecamatan Lingga Timur.

Ada yang menarik jika bercerita tentang cerita rakyat setempat. Lanun tidak lagi berani masuk kampung ini selama tujuh keturunan. Mengapa bisa demikian ?

Drs. Abdul Razak M.Pd, pernah menulis dalam tulisan kumpulan cerita rakyat yang berjudul Batin Mabot, menceritakan tentang kedatangan para Lanon yang ingin merampas harta benda milik orang-orang kampung Sungai Pinang. Tetapi tidak berhasil karena tepak sirih emas yang ajaib.

Selain itu, ada sumber lain yang masih bisa diwawancarai dan menceritakan cerita rakyat Sungai Pinang yang hampir sama. Lanun tewas tertikam buah Bungkat ( jenis pohon bakau yang buahnya besar dan tajam).

Zaman Kesultanan Riau Lingga, pemimpin atau tetua di Sungai Pinang dikenal dengan gelar Batin, sebuah jabatan setingkat desa yang ditujukan oleh kerajaan. Adalah Batin Mabot yang memerintah Sungai Pinang waktu itu. Dia merupakan pimpinan pertama di Sungai Pinang.

Batin Mabot, teramat dikenal dengan kekuatan batin dan ilmu bela diri. Dengan sikap kepimpinan dan keramahtamahannya dia mampu membina hubungan baik dengan orang-orang suku Mantang (suku Laut) diperairan Lingga. Hingga keduanya mengikrar sumpah mengaku saudara sampai bila manapun. Seterusnya, sampai kepada Batin-Batin selanjutnya.

"Kami kalau ke Sungai Pinang. Kalau kami dulu itu yang jadi pengulu Sayed Abdul Jalil. Sebut aje name die, kami dah dimudahkanlah masuk Sungai Pinang tu. Karena memang dari dulu. Batin-Batin dengan tok nyang kite orang mantang ini dulu memang sudah mengate saudare. Dulu pakai sumpah," kata Tok Anis, tetua suku laut di Pulau Lipan, desa Penuba ketika menjawab dan menceritakan kisah di Sungai Pinang.

Salah satu bentuk persaudaraan dan kerjasama yang dilakukan Batin-Batin Sungai Pinang dengan suku laut yakni dalam capaian hasil panen kebun.
Diceritakan Anis, sekita itu musim buah durian dan cempedak. Awal memasuki masa panen, bahasa di kampung dikenal dengan nama "Buang hantu atau buang Buruk".

Biasanya pada masa awal ini, buah-buahan seperti durian dan cempedak diwarnai dengan buah yang tidak bagus atau kondisi daging buah yang buruk. Orang-orang suku laut ini diminta untuk melakukan semacam ritual agar kondisi serupa mengenai buah ini tidak lagi terjadi pada buah selanjutnya.
Ritual dilakukan dengan menunda beberapa butir  buah yang buruk dengan sampan kajang suku laut. Dikayuh sepanjang sungai dengan adat buang sial oleh suku laut yang dilengkapi dengan nyanyian dan jampi-jampi.

"Jadi kami nyanyilah, begendang bawak buah itu sepanjang sungai. Buang hantu, buah isi yang tak bagus. Padahal kite inilah hantu jok, kawan tok dimakan die sampai sakit perut," lanjut Tok Itam, sapaan akrabnya dikalangan masyarakat suku laut pulau Lipan dengan sedikit canda.

Dengan hubungan baik yang terjalin sejak dulu ini, lanjut dia suku lautlah yang membantu memberi kabar ketika ada lanun yang ingin merampok wilayah kampung Sungai Pinang semasa Batin Mabot. Mendengar kabar itu Batin Mabot pun telah siap menanti para lanun tersebut.
Tidak seperti tabiat lanun sekarang yang merampok tanpa permisi. Tetapi semasa itu pertikaiannya bertatakrama, lanun haruslah terlebih dulu mengalahkan pemimpin kampung baru bisa mengambil semua harta benda di wilayah itu.

Seketika sampai di darat Sungai Pinang, kepala lanun menerjang satu persatu pohon kelapa hingga bertumbanganlah sejumlah pohon kelapa tersebut. Tetapi, Batin Mabot tetap menyambut tamunya dengan sopan, mengikuti adat tradisi melayu.

"Dihidangkan tepak sirih cok, taulah orang dulu bukan macam kita sikit ilmu. Tepak sirih kecil tapi naruh bende banyak. Tapi lanun tu tidak nak makan sirih. Entah takut ke nengok tepak sirih kecik tapi banyak nyimpan gambir, daun sirih, kapur, buah bakik. Jadi die tidak makan, takot. Nengok Batin lah takot. Padahal itu adat jamu tamu orang dulu," lanjut dia.

Dengan begitu kepala lanun pun mundur dan bergegas mengajak lanun-lanun lainnya turun ke perahu kajang mereka dan pergi meninggalkan Sungai Pinang. Tapi dipertengahan jalan, kerena kondisi air surut mereka kandas dan berhenti menunggu air laut pasang. Mereka para lanun berteduh dibawah pohon Bungkat sembari mencari angin segar dibawah pepohonan.

Tetapi malapetaka terjadi sebelum pasang. Karena tidak menerima jamuan sirih Batin Mabot, buah bungkat yang merupakan jelmaan keris Batin Mabot seketika jatuh menembus atap kajang perahu lanun dan menebus perut kepala lanun hingga ke geladak perahu kajang. Seketika itu pula matilah kepala lanun yang sakti mandraguna tersebut hanya tertikam buah bungkat.

"Matilah die, tertikam buah bungkat. Masuk ke perut. Dibawaklah balek anak buah die. Entah tok tak tau kemane tempatnye. Lanun itu orang bugis," cerita dia lagi.

Setelah itu kejadian itu, lanun tidak lagi berani datang ke Sungai Pinang. Karena kejadian serupa pasti terulang selama Sungai Pinang masih dipimpin Batin-Batin yang hebat.


"Itulah lanun bersumpah sampai tujuh keturunan tidak datang lagi ke Sungai Pinang. Mane ada orang kami mantang tidak tau Sungai Pinang, ade cerita lanun. Atok ni jaman kecik dulu suke dicerite Datok Nyang atok," ujar dia menutup perbincangan tentang sumpah Lanun yang takut datang lagi ke Sungai Pinang. (Arpa)